KABINET
Kerja telah dilantik. Hal yang baru dalam dunia pendidikan adalah pemisahan
pendidikan tinggi (digabung dengan riset dan teknologi) dari kebudayaan,
pendidikan dasar, dan menengah. Yang pertama bergabung menjadi Kementerian
Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, yang kedua tetap: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Dengan pemecahan ini, diharapkan kinerja
kementerian bisa lebih fokus dan implementatif. Dalam kaitannya dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada dua hal penting yang patut dicermati
dari konsep dasar pembangunan pendidikan yang disampaikan oleh Anies Baswedan
setelah dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pertama, pemerataan
pendidikan dan pendidikan yang berkeadilan bagi semua anak bangsa. Kedua,
konsep tenunan kebangsaan Indonesia.Masalah ketimpangan pendidikan dari dulu
sampai sekarang merupakan masalah yang tidak kunjung selesai, baik itu antara
bagian timur dan barat Indonesia, Jawa dan luar Jawa, maupun antara pedesaan
dan perkotaan. Seolah jurang di antara dua wilayah ini kian lebar dan tidak
semakin mendekat. Untuk itulah, arah baru
pendidikan harus dikembalikan pada cita-cita kemerdekaan bangsa
Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerataan kesempatan
belajar bagi seluruh warga bangsa Indonesia.
Pada masa kolonial hanya dua daerah di luar
Jawa yang pendidikannya lebih menonjol daripada daerah lain, yaitu di Padang
dan Minahasa. Dua wilayah ini pada masa kolonial telah menghasilkan
pemikir-pemikir muda yang terus menyebarkan ide-idenya untuk kemajuan bangsa
(Hindia) Indonesia.
Sebut saja Ahmad Abdul Rivai, seorang
lulusan dokter dari Belgia yang memilih menjadi jurnalis. Ia menjadi pendiri
dan pemimpin redaksi dwimingguan Bintang Hindia (1906). AA Rivai adalah
pemimpin redaktur pribumi pertama di Indonesia.
Berkat tulisan di majalahnya yang dia sebut
sebagai ”soerat tjerita”, gagasan untuk
memajukan pengetahuan rakyat agar mencapai ”bangsawan pikiran” terus
digelorakan. Bangsawan pikiran lahir dari hasil perjuangan, pencapaian
intelektual dari kaum muda yang mau belajar, yang berbeda dengan bangsawan usul
(turunan).
Menurut AA Rivai, untuk melawan bangsa
Barat yang sudah maju, kaum muda di Hindia Belanda harus melawan dengan
kepandaian yang diperoleh melalui pendidikan. Bintang Hindia seolah membuka
mata bagi kaum muda Indonesia untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi. Karena
pemikiran dan ide-ide Rivai-lah, seorang Wahidin Sudirohusodo pun menyarankan
pengikutnya untuk bertanya kepada Rivai mengenai ide-ide kemajuan bangsa. Dari
pergumulan pemikiran inilah terus bergerak sehingga bangsa Indonesia mencapai
kemerdekaan.
Jika AA Rivai menyebarkan gagasan kemajuan
melalui media jurnalisme yang ujungnya adalah pembebasan diri dari
kolonialisme, kini pada era Kabinet Kerja, mampukan gerakan ”Indonesia
Mengajar” yang dulunya gerakan sosial, budaya, dan pendidikan—yang kini setelah
sang penggagasnya diberi amanah untuk memimpin Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan—dapat memberikan akses seluas-luasnya kepada peserta didik? Inilah
yang kita perjuangkan bersama.
Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang konon
dianggap berhasil di Solo dan Jakarta, kini akan dibawa ke pentas nasional:
mampukan memberi jawab terhadap pendidikan yang berkeadilan dan merata? Tentu
program KIP perlu disempurnakan, baik kriteria penerima, maupun data
penerimanya, sehingga program ini bisa tepat sasaran.
Tenunan kebangsaan
Mengacu pada pemikiran di atas, pertanyaan
selanjutnya, di manakah kebudayaan akan
diletakkan dalam konteks kemajuan pendidikan Indonesia baru. Jika pada masa
Presiden Soekarno kita mengenal konsep kepribadian bangsa, masa Presiden
Soeharto konsep jati diri bangsa, dan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ada konsep karakter bangsa, pada era Presiden Joko Widodo ada konsep revolusi
mental.
Jika dicermati, konsep-konsep tersebut
sebenarnya di dalam implementasinya selalu berlandaskan pada kebudayaan
Indonesia. Begitu menjanjikan bagi pengembangan kebudayaan. Akan tetapi, dalam
praktiknya—dari dulu sampai kini—nilai-nilai kebudayaan masih sangat sedikit
diterapkan dalam proses pembelajaran karena nilai numerik (angka) lebih banyak
mendominasi dalam proses pembelajaran.
Untuk itu, dibutuhkan guru-guru yang dapat
menggabungkan antara kemampuan keilmuan dan pengetahuan budaya agar dapat
memberi motivasi kepada siswa. Akibat dari semua itu, dari ketiga konsep
kebudayaan (kepribadian bangsa, jati diri bangsa, dan karakter bangsa) sebelum
era Joko Widodo, pada kenyataannya bangsa Indonesia belum mampu melakukan
akselerasi menuju bangsa yang maju dan beradab. Kita masih terpuruk pada
jargon-jargon yang belum menyentuh kehidupan masyarakat secara mendasar.
Terbukti korupsi masih terus tumbuh, begitu
juga kematangan berpolitik dari para elite yang cenderung mengalami involusi.
Sementara di bidang ekonomi, gap antara kelompok kaya dan miskin yang semakin
menganga. Akhirnya, dalam bidang kebudayaan yang terjadi adalah penyeragaman
kebudayaan, dominasi budaya besar terhadap budaya kecil, karena otonomi
kebudayaan kurang dapat tempat.
Lalu, apakah revolusi mental bisa mengubah
perilaku berbangsa dan bernegara? Tentu ini masih membutuhkan pembuktian
bersama.
Namun, paling tidak Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan baru yang menawarkan sebuah konsep tenunan kebangsaan yang berusaha
mengimplementasikan konsep revolusi mental patut pula kita kritisi. Jika
Indonesia diibaratkan sebagai sebuah
lembaran kain tenun, keberagaman bahasa, suku bangsa, adat istiadat, dan
sejarah adalah mozaik yang harus ditenun menjadikan satu keindonesiaan yang
utuh, tetapi tetap berwarna-warni sesuai dengan karakternya masing-masing.
Jadi, bukan sebuah penyeragaman yang membuat dominasi kebudayaan tertentu
terhadap kebudayaan yang lain. Inilah wujud dari ”persatuan” dan bukan
”persatean” yang mudah tercerai-berai, seperti yang pernah dikatakan Mohammad
Hatta pada 1930-an.
Jika mengacu pada konsep tenunan kebangsaan
tersebut, di sinilah sinkronisasi antara kebudayaan dan pendidikan Indonesia.
Kebudayaan yang diartikan sebagai hasil pergulatan pemikiran itulah yang
menjadi kerangka dasar dalam pengembangan pendidikan Indonesia.
Untuk download artikel ini silahkan Klik Disini
Untuk download artikel ini silahkan Klik Disini
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar dengan baik