About


blink

roll

Tumblr Scrollbars

kursor

Minggu, 21 Desember 2014

METODE DAKWAH SUNAN KALIJAGA YANG MENCERMINKAN HUBUNGAN ERAT ANTARA AGAMA DAN KEBUDAYAAN


                Mendengar nama Sunan Kalijaga pasti tidak asing lagi untuk telinga kita, nama Sunan Kalijaga begitu akrab dalam dunia Islam Nusantara. Tokoh ini merupakan sosok ulama yang sangat kreatif dalam melihat potensi masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk berdakwah menyiarkan Islam. Bagaimana sih cara dakwah Sunan Kalijaga dalam penyebaran agama Islam?

Sumber : Buku Dr. Purwadi, M.Hum

                Kanjeng Sunan Kalijaga di masa mudanya bernama Raden Syahid, ia adalah putra Adipati Tuban dimasa redupnya pamor Kerajaan Majapahit. Raden Syahid galau hati ketika menyaksikan nasib rakyat yang hidup sengsara. Menurut cerita rakyat, diam-diam Sunan Kalijaga suka mencuri  bahan makanan yang tersimpan di gudang Kadipaten, lalu ia bagi-bagikan ke rakyat. Sepintar apapun beliau bertindak, namun ketahuan juga oleh ayahnya. Maka beliau diusir keluar dari Kadipaten. Justru pengusiran itu membuat Raden Syahid memilih menjadi perampok. Namun, dia tidak merampok untuk diri dan kelompoknya sendiri, melainkan dibagi-bagikan kepada kaum yang membutuhkan. Robin Hood versi Jawa.
                Suatu hari, Raden Syahid kena apes ketika ia bertemu dengan Sunan Bonang yang akan dirampoknya. Jangankan mendapatkan hasil rampokan, wali tua itu malah mencerahkan hidupnya. Ia menyatakan diri menjadi murid Sunan Bonang, dan oleh Sunan Bonang diminta menunggu kedatangannya di kunjungan berikutnya.Raden Syahid pun menunggu dengan duduk bersemedi di pinggir kali. Saking lama dan khusuknya bersemedi, tak ia sadari sudah berbulan-bulan ia menunggu hingga rerumputan dan semak belukar menutupi tubuhnya. Dari kisah penantian inilah ia mulai dikenal dengan sebutan Kalijaga. Singkat cerita, Sunan Bonang menemui Raden Syahid untuk mewariskan ilmu agama dan spiritual kepadanya.Tak hanya kepada Sunan Bonang saja ia berguru, tetapi juga kepada Sunan Ampel dan Sunan Giri. Ia juga berguru ke Pasai dan menjadi pendakwah hingga wilayah Patani di Thailand Selatan. Sekembalinya ke Tanah Jawa ia diangkat menjadi anggota Wali Sanga, sembilan pemuka dan penyebar agama Islam di Jawa.
Cara Sunan Kalijaga dalam menyiarkan Islam terbilang kreatif. Ini karena sunan Kalijaga selalu menggunakan simbol-simbol budaya Jawa sebagai media dakwah. Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar dimasyarkat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer dimasa itu. (Babad-Dandanggula Semarangan—paduan melodi Arab dan Jawa). Langkah ini didasari atas pandangan, dakwah tidak akan menghasilkan apapun, bahkan dapat menghancurkan citra agama itu sendiri jika dilakukan dengan kekerasan taupun pemaksaan. Dia juga berpendapat, masyarakat tidak akan mau memeluk Islam jika penderiannya dan kenyakinan atas kepercayaan sebelumnya secara frontal diserang.
Pada saat itu masyarakat di wilayah Jawa mayoritas memeluk agama hindu dan budha. Dengan berbagai adat upacara yang dilakukan untuk komunikasi ataupun peribadatan mereka terhadap tuhan.  Sebelum Islam masuk di tanah Jawa masyarakat Jawa mempunyai berbagai kebudayaan antara lain adanya sedekah bumi yang di lakukan oleh masyarakat Jawa dengan membawa berbagai macam hasil bumi ada buah-buahhan, padi, dan sesaji yang kemudian di berikan kepada leluhur ataupun tempat-tempat keramat. Tetapi, setelah Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Kalijaga kebudayaan tersebut tidak dihilangkan. Melainkan, di rubah niat dan pengertiannya yaitu seperti tradisi Grebeg Mulud untuk memperingati Maulud Nabi yang terkenal sebagai upacara Sekaten (dari kata syahadatain, pengucapan dua kalimat syahadat) tata caranya sama, melainkan di ubah maksud dan tujuannya. Bukan lagi sesaji untuk leluhur melainkan untuk memeriahkan hari kelahiran Nabi Muhammad.
Dalam Babad tanah jawi, dahulu pemeluk agama Hindu dan Budha sangat gemar melihat pagelaran wayang. Mendengar bunyi-bunyi gamelan saja,  semua masyarakat sudah berbondong-bondong mencari sumber suara. Hal itu digunakan Sunan Kalijaga untuk mengumpulkan masa. Cara tersebut sangat efektif, buktinya tidak lama setelah gamelan di bunyikan oleh sunan Kalijaga, di Pendopo Masjid sudah dipenuhi warga yang datang berbondong-bondong untuk mencari sumber suara  alunan gamelan yang sangat Indah. Setelah masa berkumpul trik sunan Kalijaga yaitu dengan memberi syarat bagi siapa yang ingin menonton wayang  harus mensucikan diri dengan mencuci wajah, kedua tangan, dan kaki (dalam hal ini yang dimaksud berwudhu), kemudian harus mengikuti tata aturan ataupun ucapan Sunan Kalijaga. Kemudian para warga yang datang mengikuti perintah Sunan Kalijaga yaitu berwudhu lalu, mengucapkan dua mantra (dua kalimat syahadat) tiada tuhan selain Allah dan mempercayai bahwa Nabi Muhammad utusan Allah. Melalui cara itulah banyak masyarakat Jawa yang kemudian  memeluk agama Islam.
Ahli sejarah mencatat, Sunan Kalijaga diyakini sebagai pengubah wayang kulit. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya mengenai Islam. Lakon yang bersumber dimainkan tak lagi dari kisah Ramayana dan Mahabarata, melainkan Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah caragan. Beberapa diantaranya yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain berlambang dari kalimat syahadat. Sunan Kalijaga juga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Qur’an.  Jadi kebudayaan pewayangan yang sekarang sudah terpengaruh oleh agama Islam yang disebarkan Sunan Kalijaga di tanah Jawa. Nah, berbekal nilai budaya inilah banyak masyarakat baik dari kalangan biasa hingga ningrat yang mau memeluk agama Islam. Sunan Kalijaga berhasil mengajak sejumlah Adipati masuk Islam tanpa harus menggunakan kekerasan dan peperangan.
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berati kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan. Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons. Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin. Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75)
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
 Agama dan Budaya
Budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).
Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuat dengan yang tidak.  Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia.
Jadi agama juga mempengaruhi budaya. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282). Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan berbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.

Bahan Bacaan :
Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,   Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990
Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta;  Pustaka Sinar Harapan, 1982.
Soekanto Soerjono, Sosiologi suatu pengantar, Kebudayaan dan Masyarakat, Jakarta; CV. Rajawali, 1982
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Baiquni Ahmad, suara merdeka ramadhan “Sunan Kalijaga, berdakwah gunakan budaya, cegah kekerasan”. http://www.merdeka.com/ramadan/sunan-kalijaga-berdakwah-gunakan-budaya-cegah-kekerasan.html, diakses 28 Oktober 2014 pukul 05.00 WIB.
Kyaine, The Padheblogan “Dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga dan Uje”. http://padeblogan.com/2013/04/27/dakwah-kanjeng-sunan-kalijaga-dan-uje/, diakses 29 Oktober 2014 pukul 04.35 WIB.
Walisongo, Sepenggal cerita Walisongo “sepenggal cerita wlaisongo (SUNAN KALIJAGA). https://www.facebook.com/notes/wali-songo/sepenggal-cerita-wali-songo-sunan-kalijaga/37896744927, diakses 29 Oktober 2014 pukul 04.35 WIB.
Purwadi, M. Hum, Dakwah Sunan Kalijaga, penyebaran Islam di tanah jawa berbasis kultural, Yogyakarta; CV. Aneka Ilmu, 2012
Dr. Purwadi, M. Hum, Babad Tanah Jawi, Yogyakarta; CV. Aneka Ilmu, 2010


untuk download silahkan Klik Disini

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan berkomentar dengan baik